Resume Kulwap with Ahmad Fuadi

image
Source : Google

Kelas WA#ODOPfor99days
Jadwal : 29 Maret 2016

——-

BIOGRAFI

Ahmad Fuadi (lahir di Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972; umur 43 tahun) adalah novelis, pekerja sosial dan mantan wartawan dari Indonesia. Novel pertamanya adalah novel Negeri 5 Menara yang merupakan buku pertama dari trilogi novelnya. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam jajaran best seller tahun 2009.[1] Kemudian meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 dan tahun yang sama juga masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award, sehingga PTS Litera, salah satu penerbit di negeri jiran Malaysia tertarik menerbitkan di negaranya dalam versi bahasa melayu. Novel keduanya yang merupakan trilogi dari Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna telah diterbitkan sejak 23 Januari 2011 dan novel pamungkas dari trilogi ini, Rantau 1 Muara, diluncurkan di Washington DC secara simbolis bulan Mei 2013. Fuadi mendirikan Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan masyarakat yang kurang mampu, khususnya untuk usia pra sekolah. Saat ini Komunitas Menara punya sebuah sekolah anak usia dini yang gratis di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.

Memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan lulus pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, setelah lulus menjadi wartawan Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1998, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo-adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA.[2] Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September 2001 dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.

Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Penyuka fotografi[3] ini pernah menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.[4]

Ia adalah cucu Buya H. Sulthany Datuk Rajo Dubalang dan Buya Sulaiman Katik Indo Marajo.

——

PERTANYAAN

#1 Monika Pury Oktora, Gronigen Belanda & Anittaqwa Elamien, Surabaya:

• Bang Ahmad Fuadi (AF) ini kan menceritakan pengalaman pribadinya lewat buku.
Bagaimana biar bisa mengangkat pengalaman pribadi jadi cerita yang menarik? Walaupun pengalaman hidup kita tuh rasanya biasa aja… ga unik-unik banget.

• Ketika pengalaman pribadi diangkat menjadi cerita  apa boleh ditambahi bumbu-bumbu yang sebenarnya tidak terjadi (di pengalaman) kita tersebut?
Bagaimana dengan kisah nyata kehidupan orang lain (misalnya ayah) diangkut jadi cerita fiksi?

AF:
Novel itu ya kira-kira mirip kisah hidup kita sehari-hari, TAPI bagian yang boringnya dihilangkan dan bagian yang dramanya diperkuat. Jadi tidak harus unik hidup kita, tapi ceritanya yang harus unik dengan tambahan fiksi, konflik, drama dan karakter. Ingat, kita gak bikin biografi yang harus taat pada kenyataan, tapi bikin fiksi yang boleh berimajinasi.
Tentukan dulu pengennya bikin biografi atau fiksi. Kalo biografi, gak boleh ditambahkan. Kalo fiksi, bebassss, kasih bumbu pedes, manis, merica, dsb.
Boleh banget. Bagus juga dikasih tahu ke orang yang bersangkutan biar dia tidak kaget nanti jadi tokoh fiksi hehe
Ahmad Fuadi sign
Book Signing Berpetualang ke 5 Benua

#2 Muthia Husnul Lisani, Bandung:

Apa yang bang AF lakukan pertamakali sebelum nulis cerita/buku? Mikirin alurnya kah? Mikirin klimaksnya nanti gimanakah?(outline berarti ya?). Atau hajar aja nulis ide cerita yang kita mau, masalah klimaks, ending, dipikirkan sambil jalan.
Kesulitan terbesar apa yang bang AF rasakan saat menulis buku, berikut cara mengatasi kesulitan itu.

AF:
Saya akan bertanya 4 pertanyaan pada diri.
Pertama saya akan bertanya agak filosofis pada diri sendiri: Why, kenapa saya nulis. Temukan jawabannya di dalam diri sendiri. Kalau kita ketemu alasan kita mau menulis itu akan terpacu terus untuk menulis.
Pertanyaan kedua: what, apa yang saya tulis. Sebaiknya tulis apa yang paling dekat dengan hati kita. Apa yang kita peduli, apa yang kita paling tahu.
Ketiga; how. Caranya banyak, bisa ikut workshop, bisa baca buku, bisa otodidak, tapi apa pun itu cara menulis yang baik itu menurut saya adalah melakukan riset. Saat menulis N5M saya riset, saya pulang kampung. Buka lemari tua, cari diari lama saya, ngobrol sama ibu, observasi dll.
Keempat: when. Kapan nulis? Ya nulis mulai sekarang aja.Secara teknis, saya sering memulai dengan mindmap, jadi tahu awal, tengah dan akhir secara umum, lalu mindmap ini dikembangkan lebih lanjut menjadi struktur cerita.
Menjaga konsistensi untuk sabar dalam proses dan sabar menulis terus. Selain kerja kreatif, menulis itu kerja fisik lho, setiap huruf kan harus kita ketik satu-satu. Saya menulis novel agak lambat, setiap novel saya minimal 2 tahun baru jadi.
Ahmad Fuadi Hitam putih
Bersama Dewi Lestari di Hitam Putih

#3 Afina Raditya, Cimahi:

Saya mah mau nanya nya, sehari baca buku berapa jam, dan nulis berapa jam. :mrgreen:
AF:
Nggak tentu juga. Tapi selalu diusahakan ada waktu menulis dan membaca. Kadang juga gak sempat baca buku, bacanya malah whatapss, FB, twitter dll hehehe.

#4 dari Marina Yudhitia Permata, Bandung:

Wejangan apa dari Bang A. Fuadi untuk penulis-penulis pemula yang masih baru banget belajar dan masih belum jelas mau menulis buku yang bagaimana.

AF:
Membaca banyak, dan menulis teratur, walau dikit. Ini ibarat kita mau marathon, perlu latihan tiap hari. Nah menulis tiap hari itu melatih otot menulis kita.

*Tambahan pertanyaan dari Rotun DF:  Noted untuk membaca banyak. Yang ingin ditanyakan, membaca ini buku apa saja atau kalau kita ingin menulis fiksi misalnya, maka kita membaca buku2 fiksi saja? Atau jika kita suka dan ingin mempelajari gaya bercerita seorang penulis, kita baca buku2nya beliau saja?

AF:
Baca buku apa saja karena menulis itu perlu wawasan luas. Kalo nulis fiksi, banyakin baca fiksi yang kira kira genre-nya mirip tulisan kita, agar bisa belajar dari yang sudah terbit dan bagus.

#5 Fiena Ihsanudin, Bandung:

Bagi seorang penulis yang handal sekelas bang Ahmad Fuadi, langkah krusial apakah yang perlu diperhatikan oleh seorang pemula apabila ingin mempunyai karya dalam bentuk sebuah buku?
Untuk menulis sebuah buku, hal terpenting apa saja yang harus ditentukan oleh seorang penulis pada awal penulisannya?
Apakah ada pakem/ aturan tertentu agar sebuah tulisan layak untuk diterbitkan menjadi sebuah buku ?

AF:
Sama dengan yang di atas, menurut saya hanya dua, terus membaca, terus menulis. Nanti lambat laun akan ada kesiapan mental, fisik, psikologis untuk melahirkan buku.
Niat, nawaitu, alasan, why. Kalau ini ketemu, nulisnya penuh energi dan teknis lain-lain itu jadi urusan kesekian.
Untuk layak terbit, biasanya penerbit melihat apakah ada peluang pasar untuk buku ini, lalu apakah buku ini ditulis dengan baik (gak typo, EYD ok, gak muter-muter dll). Untuk layak jadi bestseller itu rahasia Tuhan hehehe. Gak ada yang tahu. Tapi nasihat saya, nulis aja dari hati kita, Insya Allah nyampe ke hati pembaca.

#6 Rinda Sukma, Sidoarjo:

Apa ada teknik menulis fiksi yang bisa digunakan untuk menulis artikel? Yang membuat artikel menarik dibaca tanpa merubah fakta-faktanya.

AF:
Ada banget, baca artikel-artikel panjang TEMPO, majalah online Pantau, dan New Yorker, hampir semua menggunakan pendekatan jurnalisme sastrawi. Bercerita dan asyik.

#7 Wini Nirmala Gunawan, Bandung:

Stimulasi apa yang biasanya membuka ide dalam menulis. Misalnya: Dengerin lagu, jalan-jalan, dsb.

AF:
Macam-macam untuk tiap orang dan tiap situasi. Saya bisa denger lagu, bisa matiin musik, corat coret, bisa baca-baca buku, liat-liat foto, video dll. Jadi eksplor aja yang mana yang cocok.

#8 Rinda Sukma – Sidoarjo

Menurut Bang Fuadi sendiri, dimana kekuatan tulisan Bang Fuadi?
Apa sebaiknya kita tahu dimana kekuatan tulisan kita? Utk lebih memanfaatkannya dalam persaingan?
Bagaimana cara tahunya? Apakah orang/editor/penerbit yg membukakan mata Bang Fuadi akan kekuatan tulisan Bang Fuadi ataukah menemukannya sendiri?

AF:
Saya gak tahu pasti juga kekuatan tulisan, krn yg menilai dan yg menikmati adalah pembaca. Nah kalo liat komentar pembaca mereka suka tema, kandungan inspirasi dan bahasa yg simpel
Bagus aja kalau tahu. Tp yg bener tahu itu gak ada menurut saya. Sekali lagi itu selera pembaca.
Ya, editor, pembaca, pengamat, teman dll bisa memberi tahu kita.

#9 Wini Nirmala Gunawan – Bandung

Ada tips ngga untuk menghindari kata yang berulang? Biar ngga itu2 lagi. Atau itu wajar?
AF:
Biarin aja dulu, nanti pas editing, pakai thesaurus untuk membuat variasi ungkapan.
Ahmad Fuadi Cerita hati
Bersama Desi Ratnasari di Cerita Hati

#10 Muthia Husnul Lisani – Bandung:

Seberapa penting komentar orang dalam meningkatkan kemampuan menulis kita? Ini terkait juga dengan pertanyaan, penting ga sih membuat semacam kelompok belajar menulis yang sesuai dengan genre yang ingin kita tulis? Dimana si kelompok itu yang akhirnya saling mengomentari latihan menulis kita?
Atau… ya pakai kaca mata kuda aja lah, selama kita enjoy membaca, memperkaya wawasan, dan menulis. Toh yang namanya selera pembaca kan berbeda-beda.

AF:
Tergantung orangnya, ada yg suka rame dan saling komen, ada yg maunya sendiri aja. Saya gak punya grup nulis.  Nulis aja sendiri.  Lalu naskah dibaca dan dikomen sama istri.  Baru setelah selesai diedit saya bagikan ke 20an teman berbagai latar belakang utk kasih komen.

*Tambahan pertanyaan dari Wita – Gresik:
Bagaimana ya tips mencari teman kritikus itu? Secara kita akan menyita waktunya, mohon masukannya Bang Fuadi. Saya sudah menyelesaikan satu naskah novel, pengen ke sekuel, tapi saya miskin komentar.

AF:
Miskin komentar maksudnya gimana? Endorsement yang dimaksud? Kalo itu kirim aja email ke orang yang akan kita minta endorsement dengan naskah lengkap, kalo perlu dengan draft endorsement.  Kalo beruntung akan dikasih hehehe. Kalo komentar yang non endorsement, bagikan aja ke teman, saudara, tetangga untuk kasih komentar yang nanti jadi pertimbangan untuk kita masukkan atau tidak masukkan ke dalam naskah.

#11 Eha Solihat – Rangkas Bitung

Begini  Bang AF, saya ingin mencoba menerbitkan buku dengan self publishing/penerbit indie, namun ada kekhawatiran karya saya dibajak (bukan ke-geer-an ya) entah oleh penerbit itu sendiri ataupun pihak lainnya. Mis: ide cerita diambil dari karya saya, namun mereka menerbitkan kembali dengan alur dan pengembangan cerita. Pertanyaannya: bagi bang AF, tips-tips apa saja yang harus dilakukan untuk menghindari plagiasi dan bagaimana caranya mencari penerbit yang baik, dalam artian yang tidak menjiplak karya atau mencuri ide calon kliennya? Maaf klo pertanyaannya standar dan agak parno karena pernah baca kasus seperti itu. Sebelumnya, terima kasih atas jawabannya.

AF:
Begitu karya disiarkan ke publik, baik itu di blog, dicetak indie, dicetak non indie, maka akan selalu ada peluang untuk dijiplak atau dibajak.  Menurut saya santai aja. Yang lebih dihargai adalah yang pertama dan original.  Kalo niat untuk berbagi kebaikan dengan tulisan, jangan-jangan kalau dijiplak malah kebaikan nya makin luas hehehe. Contohnya buku saya sudah dibajak ribuan eksemplar dimana-mana. Dulu kesel, sekarang saya syukuri aja, karena makin banyak yang baca buku saya, makin manfaat Insya Allah
Sipp. Terimakasih untuk kehebohannya, saya memantau melalui mbak Shanty hehe.

——

www.jendelakeluarga.com

Miranti

jendelakeluargaid@gmail.com

error: Content is protected !!