Ijasah Untuk Anak Homeschooling?

Ijazah bagi Anak HS, perlukah?

————

Mohon bantuannya atas pertanyaan member berikut :

“Saya baca tulisan kurang lebih begini: Pelaku HS gamang. Di satu sisi ingin memberikan kebebasan pada anak dalam proses belajar, tapi di sisi lain menginginkan penyetaraan. Apa ini bukan berarti kemunduran? Saat ini katanya perusahaan-perusahaan di luar negeri tidak meminta ijazah, tetapi memberikan apresiasi kepada individu untuk terlibat dalam real project dan kemampuan personal lebih dibutuhkan. Dalam benak saya tulisan ini mengkritisi proyek HSMN yang sedang mengusahakan kesetaraan ijazah (cmiiw).
Pertanyaan saya, apakah benar demikian? Negara mana saja yang sudah memberlakukan hal tersebut? Karena setahu saya sampai detik ini negara-negara seperti Turki masih meminta ijazah negeri atau sekolah yang diakui. Ijazah-ijazah paket tidak diterima.
Pertanyaan kedua, sampai level mana di perusahaan tersebut seseorang bisa terlibat tanpa ijazah? Karena kalau berkesempatan bekerja di luar negeri, saya ingin anak saya mendapatkan posisi setinggi-tingginya, kalau bisa sampai top level. Mungkinkah itu terwujud tanpa ijazah?
Ketiga, masing-masing anak berbeda preferensi dan kita harus memfasilitasi. Ada anak yang minat dan bakat merintis, mengembangkan dan memiliki usaha sendiri, namun ada anak yang lebih bisa berkembang jika berada di lingkungan yang sudah establish.”

Jawab:
Di luar negeri masih membutuhkan ijazah, kok. Ini tidak melihat apakah itu ijazah paket atau bukan. Khusus di Jepang, kalau mau sekolah dengan beasiswa Monbusho, yang diminta bukan ijazah paket tapi jika tidak mau mengambil beasiswa Monbusho, ijazah paket pun tidak masalah. Mengenai perusahaan yang tidak butuh ijazah memang masih bisa dihitung dengan jari. Nah, daripada nantinya repot, tidak masalah jika kita menyiapkan anak untuk mempunyai ijazah. Toh ijazah bukan aib untuk anak kita. Terpakai syukur, tidak terpakai pun tidak apa-apa.

Kalau toh tidak pakai ijazah formal, kita bisa menggunakan sertifikasi. Sebetul ya sama saja ijazah dan sertifikasi, hanya saja ijazah itu lebih formal dan umum, sedangkan sertifikasi lebih fokus kepada kompetensinya. Kalau di Jerman, selain ijazah, anak HS diminta untuk mengumpulkan portofolio minatnya. Misalnya jika anak itu suka di bidang sains, cantumkan penelitian apa saja yang sudah dilakukan.

Hal yang terpenting adalah anak harus melakukan pekerjaan dengan tuntas, suka tantangan dalam pekerjaan tersebut, dan tidak mudah menyerah ketika diberi deadline saat bekerja.

Ijazah itu adalah hak anak. Jadi, kalau anaknya mau punya ijazah, maka orangtuanya wajib membantu anak untuk mengusahakannya. Memang terlalu dini jika membicarakan ijazah dengan anak usia 8 tahun. Anak baru akan paham soal ijazah biasanya di usia baligh. Anak pertama saya tidak memikirkan ijazah karena bidang yang mau digeluti adalah desain. Sekarang di usianya yang ke-14 tahun, ia sudah bekerja sebagai Freelancer Designer di sebuah perusahaan iklan Perancis, tanpa harus menunjukkan ijazah. Bahkan sertifikasi saja tidak perlu untuk anak pertama, yang dipentingkan justru portofolio. Berbeda dengan anak kedua yang ingin menjadi ilmuwan dan peneliti, tentu harus punya ijazah. Proses diskusi dengan anak-anak mengenai hal ini sudah dilakukan sejak usia 10 tahun hingga 14 tahun. Ini pun dilakukan secara berproses dan bertahap.
Para orangtua pelaku HS tidak bisa dengan jumawa mengatakan, “Kami tidak perlu ijazah,” sedangkan anak-anaknya masih kecil. Padahal proses dan tahap tersebut belum dilalui. Kalau menurut saya, orangtua seperti itu kurang bijak.

Pengalaman saya dengan anak pertama, awalnya portofolio anak yang dikumpulkan sejak usia 6-12 tahun lebih banyak ke animasi dan komikus anime. Namun sejak anak memperdalam agama dengan belajar ke syaikh setiap rihlah dan mengetahui hukum menggambar makhluk hidup, anak pun mengalami kegalauan. Istikharah pun butuh waktu. Akhirnya kami berdiskusi hangat sampai akhirnya dia bisa menjauhi animasi dan anime. Jalannya yaitu lewat pekerjaan dari agency yang memintanya berkarya di desain yang jauh dari anime. Anak pun mesti belajar lagi dari nol, tapi karena itu merupakan jawaban dari doa-doanya untuk menjauhi anime, anak pun jadi semangat lagi meski harus bersedih karena portofolio yang dulu mesti dibakar. Sempat selama setahun dari usia 12-13 tahun, anak diam tidak berkarya sama sekali.

Pelaku HS muslim tidak hanya mengeksplor minat dan bakat anak, tapi yang lebih utama adalah penguatan akidah anak. HS dan sekolah hendaknya bersinergi, tidak boleh saling menyalahkan dan saling merasa benar. Seringkali pelaku HS merasa dengan HS, anak menjadi lebih baik dalam minat dan bakat serta menyalahkan sekolah. Padahal tidak dipungkiri ada anak-anak sekolah yang minat dan bakatnya justru berkembang lewat sekolah.

Demikian pula dengan sekolah yang merasa lebih terarah daripada HS, itu juga tidak benar. HS dan sekolah itu bukan persoalan keimanan. Tadinya sekolah kemudian HS kemudian sekolah lagi pun tidak masalah selama akidah Islamnya kuat, akhlaknya mulia, punya daya juang untuk hidup, dan bermanfaat untuk orang lai . Buat apa sekolah dan HS kalau akidahnya tidak kuat, permisif, dan tidak membawa manfaat. Sekali lagi, ini kembali kepada visi misi keluarga masing-masing soal model pendidikan seperti apa yang akan ditempuh untuk sama-sama masuk surga sekeluarga. 🙂

Pengalaman dari satu keluarga HS tidak bisa diduplikasi oleh keluarga lainnya. Ini tentu disesuaikan dengan visi misi keluarga. Masalahnya, pelaku HS yang akhirnya mengambil ijazah seringkali menyepelekan proses yang harus dilalui. Ingin punya ijazah tapi tidak mau menjalani proses 1 tahun sebelum mendapatkan ijazah. Klo seperti ini, kan sebetulnya sedang mendidik anak untuk berlaku curang, memudahkan segala cara untuk mendapatkan ijazah. Dan ternyata ini banyak dilakukan oleh pelaku HS yang tadinya menggembar-gemborkan tidak memerlukan ijazah, tapi ujung-ujungnya mengambil ijazah lewat jalur instan karena tidak mau repot. Saya tidak mau menyebut merek, ya.;)

Tujuan utama HS agar anak memiliki akhlak mulia pun rusak hanya karena ijazah. 🙂
Padahal, pelaku HS yang punya ijazah tidak berdosa, kok. Akhirnya, para pelaku HS menjadi galau sejak ada tulisan yang meributkan soal ijazah. Oleh karena itu, tetaplah fokus kepada visi dan misi keluarga masing-masing.

Ribut masalah ijazah tapi ujung-ujungnya mengambil ijazah juga dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan sistem. Padahal kalau anak kita mau punya ijazah, tentu harus sesuai dengan sistem dan kita harus menaati itu.

Sejak menjalani HS, saya tidak mau ambil pusing soal ijazah. Kalau anaknya mau ambil ya ayo didampingi, dijelaskan prosesnya, sampai konsekuensinya. Kalau tidak mau pun ya tidak apa-apa. Nanti yang mau menjalaninya kan si anak sendiri dan itu pun untuk masa depannya. Kita sebagai orangtua tidak bisa bilang, “Nak, kamu itu HS, gak usah lah cari ijazah.” Itu sama saja dengan orang yang memilih jalur sekah dan meminta anaknya untuk rangking kelas dan mendapat nilai 90.

Banyak juga yang bertanya kepada saya, kalau HS kurikulumnya bagaimana dan gurunya siapa aja? Lalu mengambil ijazahnya bagaimana?
Ada juga yang bertanya homeschooling HSMN tempatnya dimana belajarnya?

Nantinya Yayasan Generasi Juara (YGJ) akan membantu member untuk mendapatkan ijazah tapi sesuai dengan sistem yang ada dalam Dinas Pendidikan kita. Ini disebabkan oleh adanya peraturan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang menyatakan bahwa anak yang ingin mengikuti ujian paket, harus mendaftar dulu setahun sebelumnya. Jadi tidak bisa kurang dari 3-6 bulan baru mendaftar. Bisa-bisa malah ada laporan “bodong”. Ini sama saja mengajarkan anak kita untuk berlaku curang hanya untuk selembar ijazah.
Waktu yang singkat, harga pun murah. Bisa jadi itu adalah PKBM abal-abal yang hanya mencari keuntungan semata. Mending kalau harga murah, tapi sekarang ini banyak orangtua yang rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah, yang penting bisa punya ijazah dengan cepat, tanpa proses yang panjang dan ribet.

Kebanyakan orang berpikir kalau playdate-playdate HSMN itu ada sekolahnya. Jadi, datang ke playdate akan ada kurikulumnya.

Tapi ada lagi praktisi HS yang menyatakan bahwa kalau anak mau HS tidak perlu memikirkan ijazah, karena kalau kita memikirkan/mencari legalitas atau bahkan komunitas HS mencoba membantu membentuk PKBM/sekolah payung dan sebagainya, sama saja seperti kembali ke pemikiran ke belakang untuk sekolah formal.
Maka orangtua pelaku HS memang harus benar-benar paham, “Bagaimana konsep HS keluarganya” dan terus mengamati perkembangan kemampuan dan tujuan anak.
Bukan hanya HSMN, banyak juga komunitas HS lain yang juga mencoba untuk menjembatani membernya dengan membentuk PKBM.

Insya Allah semua ada jalan, tidak perlu mencari-cari yang menurut pihak lain ‘lemah’. Sunatullah lebih dan kurang pasti ada, namanya juga insan. Yang Maha Sempurna hanya Allah Ta’ala.
Mungkin sekarang kesannya riweuh karena belum biasa. Yang jelas umat Islam harus suka belajar, suka baca, makan yang halal, dan selalu ingat akhirat agar bisa memimpin dunia. Ada/tidaknya ijazah bergantung seberapa besar manfaatnya saja.

🍁Ida Nur’aini🍁

(Dirangkum dari diskusi di grup admin HSMN mengenai HS dan ijazah)

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
🔅🔆🔅🔆hsmn🔆🔅🔆🔅
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
👥facebook.com/hsmuslimnusantara
👥FB: HSMuslimNusantara pusat
📷 instagram: @hsmuslimnusantara
🐤 twitter: @hs_muslim_n
🌐 web:
hsmuslimnusantara.org

Disclaimer :
Semua materi yang di posting sudah melalui persetujuan Founder atau PIC dari komunitas yang bersangkutan tanpa menghilangkan format asli termasuk header-footer.

www.jendelakeluarga.com

Miranti

jendelakeluargaid@gmail.com

Leave a Reply

error: Content is protected !!