Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson

Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson

jendelakeluarga.com – Selama terjun di dunia pendidikan anak usia dini terutama saat menekuni Montessori, ada banyak sekali insight yang saya dapatkan tentang sosok manusia kecil bernama anak-anak.

Kali ini saya akan menguraikan tentang Teori Perkembangan Psikososial manusia yang ditemukan oleh Pakar Psikologi, Erik Erikson. Teori ini berhasil membuka mata saya bahwa pondasi utama kehidupan manusia ada pada tahap usia anak-anak.

Tulisan ini sudah diunggah juga di instagram @kreasaid sebagai bahan referensi.

Biodata Erik Erikson

Lahir : Frankfurt, Jerman 15 Juni 1902

Wafat : Massachusetts, USA 12 Mei 1994

Erik Homburger Erikson atau dikenal Erik Erikson adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan psikoanalisis berkebangsaan Jerman. 

Erikson membuat teori Tahap Perkembangan Psikososial Manusia, dimana pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang terjadi berdasarkan 8 tahap kehidupan.

Erikson percaya bahwa berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya sangat ditentukan oleh keberhasilan atau tidaknya dalam menempuh tahap sebelumnya.

Berikut Tahap Perkembangan Psikososial oleh Erik Erikson

(1) Infancy (0-1 year) : Trust vs Mistrust

Hal pertama yang dipelajari oleh seorang anak dari lingkungannya adalah rasa percaya kepada orang terdekat, terutama orang tua (ibu) atau pengasuh yang setiap hari bersamanya.

Jika kebutuhan pada anak dipenuhi oleh orang terdekat, seperti kasih sayang, makanan dan minuman, maka anak akan tumbuh dengan rasa aman dan percaya pada orang lain.

Namun jika sebaliknya, maka ia akan tumbuh menjadi seorang yang skeptis dan menghindari hubungan yang berdasarkan pada rasa saling percaya.

(2) Early Childhood (1-3 years) : Autonomy vs Shame

Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal mulai berkembang, seperti berjalan, berbicara, makan dan minum sendiri.

Pada tahap ini kepercayaan yang diberikan dari orang sekitarnya untuk bereksplorasi akan membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri serta percaya diri.

Sebaliknya, jika orang tua banyak melarang dan membatasi, maka dapat membentuk anak menjadi pribadi yang tidak percaya diri, kurang mandiri dan selalu merasa tidak mampu dengan dirinya sendiri.

(3) Preschool (3-5 years) : Initiative vs Guilt

Di usia pra-sekolah, kemampuan anak akan bahasa, motorik, eksplorasi dengan lingkungan sekitar (fisik dan sosial) serta tingkat inisiatifnya semakin matang dan berkembang.

Apabila orang tua dapat memberikan dukungan untuk berpikir mandiri maka anak akan tumbuh menjadi anak yang berinisiatif tinggi.

Sebaliknya, jika selalu diberikan hukuman atas dorongan inisiatif alaminya saat bertindak, maka anak akan kurang inisiatif dan sering merasa bersalah dengan keputusannya. Hal ini akan menimbulkan rasa ketidakpedulian pada orang lain di kemudian hari.

(4) School Age (6-11 years) : Industry vs Inferiority

Pada tahap ini, anak sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial dan mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik dan interaksi sosial di luar keluarga juga cepat berkembang.

Dukungan dari orang tua dan guru akan membangun perasaan kompeten dan percaya diri pada anak. Pencapaian sebelumnya akan memotivasi mereka untuk mencoba dan menyukai pengalaman baru.

Namun sebaliknya, jika terjadi kegagalan dalam memperoleh prestasi penting serta kurangnya dukungan dari orang tua dan guru maka akan membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.

(5) Adolescence (12-19 years) : Indentity vs Confusion

Pada tahap ini anak sudah tumbuh menjadi remaja. Mereka akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati diri yang sebenarnya. Biasanya di dalam proses ini anak akan mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya.

Jika anak dapat menjalankan berbagai peran baru dengan baik serta mendapat dukungan orang tua, maka identitas positif akan tercapai.

Sebaliknya, jika anak kurang mendapatkan bimbingan dan banyak penolakan dari orang tua terkait berbagai peranannya, maka anak akan mengalami kebingungan, krisis identitas serta tidak yakin terhadap dirinya sendiri.

(6) Early Adulthood (20-39 years) : Intimacy vs Isolation

Tahap pertama dalam perkembangan kedewasaan terjadi pada masa dewasa muda, yaitu ketika seseorang sudah merasa siap dalam membangun hubungan dekat dan intim dengan orang lain.

Jika sukses membangun hubungan yang erat, maka mereka akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang dari orang lain.

Seseorang yang memiliki identitas personal kuat akan dapat menjalin hubungan yang sehat. Sementara kegagalan dalam menjalin hubungan dapat membuat seseorang merasakan jarak dan terasing dari orang lain.

(7) Adulthood (40-64 years) : Generativity vs Stagnation

Tahap kedua perkembangan kedewasaan manusia. Pada tahap ini seseorang secara normal sudah mapan serta memiliki prestasi karir yang telah tercapai.

Jika semuanya berjalan baik maka hal ini akan memberikan perasaan semangat untuk mencapai suatu tujuan yang lain.

Namun jika seseorang merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasanya akan muncul penyesalan dengan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya mengalami stagnasi.

(8) Old Age (65-Death) : Integrity vs Despair

Pada fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back tentang alur kehidupan yang telah dijalankan. Mereka akan berusaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaikan.

Jika berhasil melewati tahap hidup sebelumnya dengan baik, maka seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan dan bersyukur dengan apa yang telah dilakukan, namun jika sebaliknya maka biasanya mereka merasa putus asa dan penuh dengan penyesalan.

Teori ini diakui masih relate dengan kehidupan di masa sekarang, sehingga masih menjadi pegangan dalam membahas mengenai perkembangan manusia.

***

Miranti

jendelakeluargaid@gmail.com

Leave a Reply

error: Content is protected !!