Biaya Sekolah Dibayar Penuh Selama Pandemi

biaya sekolah dibayar penuh selama pandemi

Haruskah Biaya Sekolah Dibayar Penuh Selama Pandemi?

jendelakeluarga.com – Beberapa hari lalu tagar #MendikbudDicariMahasiswa sempat ramai diperbincangkan hingga menjadi trending topic Twitter di Indonesia. Ada apa gerangan? Pasalnya para mahasiswa menuntut kebijakan uang kuliah tidak dibayarkan secara penuh mengingat selama pandemi proses belajar mengajar diberlakukan sistem daring alias belajar online dari rumah. Rasanya egois jika uang sekolah harus dibayar penuh selama pandemi, bukan begitu?

Kutipan diatas diambil dari berbagai cuitan adik-adik mahasiswa sebagai bentuk aspirasi yang ditujukan kepada pemangku jabatan teratas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui tagar #MendikbudDicariMahasiswa. Siapa lagi kalau bukan kepada mantan pendiri Gojek, Bapak Nadiem Makariem, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Buat yang tidak paham apa itu UKT, UKT adalah Uang Kuliah Tunggal yakni sistem pembayaran uang kuliah yang berlaku saat ini di Perguruan Tinggi Negeri. Dengan diberlakukan sistem pembayaran UKT maka tidak ada lagi perintilan biaya yang ditagihkan selama proses belajar berjalan, seperti uang ujian, biaya praktek dan lain-lain. Semua sudah tergabung dalam UKT yang dibayarkan pada semester awal setiap ajaran baru. Oke untuk saat ini cukup pahami bahwa UKT adalah uang kuliah sama halnya dengan uang sekolah Riyadh yang harus dibayarkan setiap bulannya 🙂

Baca juga : Sekolah Dibuka Kembali Selama Pandemi

[Forum Curhat Dibuka]

Topik hangat tersebut berhasil mengingatkan saya saat awal diberlakukannya online learning atau school from home di sekolah Riyadh pada minggu ke 2 di bulan Maret lalu. Kala itu saya menilai sistem belajar daring yang diterapkan di TK tersebut sangatlah effortless.

Bayangkan kegiatan belajar mengajar yang sekolah Riyadh lakukan hanya sebatas via whatsApp Group (WAG), tidak lebih. Jadi polanya setiap hari Minggu ibu guru akan posting materi apa saja yang harus dikerjakan oleh murid (tentunya dengan pendampingan full orang tua) dari hari Senin hingga Jumat. Satu hari terdapat 2-3 tasks yang harus diselesaikan. Kemudian ibu guru tinggal menunggu laporan dari masing-masing orang tua murid berupa foto dan video yang dikirimkan melalui WA.

Jujur saya kecewa dengan pola belajar mengajar yang mereka terapkan, sangat kentara minim usaha. Apalagi kalau mau dibandingkan dengan sekolah lainnya yang menerapkan sistem belajar online yang jauh lebih menyenangkan. Mereka mampu membangun interaksi dua arah antara guru dengan murid-muridnya, sehingga setiap hari seolah tetap pergi ke sekolah. Begitu yang saya nilai. Kuncinya, mereka mau memanfaatkan teknologi dari berbagai aplikasi untuk memaksimalkan proses belajar mengajar.

Sayang sekolah Riyadh tidak seperti itu.

Saya pribadi sebagai orang tua murid merasa dirugikan mengingat semua tanggung jawab guru dan sekolah dilimpahkan kepada kami orang tua; dari mulai waktu, tenaga hingga biaya material yang harus dipersiapkan setiap harinya. Sedangkan selama pandemi berlangsung peran sekolah hanya sebatas memberikan teks materi via WA. Sulit sekali rasanya diterima akal sehat saya.

Lalu apa kabar dengan biaya sekolah?

Waktu itu saya sempat berdiskusi dengan Ibu Kepala Sekolah. Namun beliau tidak dapat memutuskan, pun tidak juga menjadi mediator dengan pihak yayasan. Akhirnya saya meminta untuk dipertemukan langsung agar bisa berdiskusi banyak tentang hal ini. Iya seniat itu saya ingin membahasnya.

Honestly saya hanya ingin menyuarakan aspirasi dari para wali murid, meskipun banyak yang mengambil jalan aman dengan aksi no comment ketika ditanya tanggapannya perihal iuran atau biaya sekolah. Tapi saya yakin dari lubuk hati yang paling dalam banyak orang tua yang bertanya-tanya “Apakah iuran sekolah harus dibayar penuh sementara sistem belajarnya tidak niat kurang mutu seperti itu?”

Mohon maaf saya harus menyebutnya begitu.

Pertama, saya sudah melakukan pengamatan tentang hal ini jauh hari bahkan sempat membuat survey terbuka di Instagram Story, banyak sekolah yang berusaha memberikan online learning yang jauh lebih baik. Kedua, untuk seusia Riyadh, saya bukan orang tua yang menaruh harapan besar dengan pendidikan formal, sebaliknya saya senang berkegiatan bersama anak di rumah, artinya saya tidak ketergantungan dengan institusi pendidikan bernama sekolah. Ketiga, tujuan saya menyekolahkan Riyadh bukan untuk membuatnya pintar secara kognitif melainkan untuk bersosialisasi, perkembangan kognitifnya adalah tanggung jawab saya sebagai orang tua. Selama pandemi ini jelas peran sosialisasi tidak terealisasi.

Long story short, tepat tanggal 3 April 2020 kami sepakat untuk berdiskusi bersama di sekolah. Kala itu pertemuan dihadiri oleh saya, salah satu petinggi yayasan, ibu kepala sekolah dan satu orang tua murid yang se-visi dengan saya.

Sebelum pertemuan dibuat saya sempat open diskusi di WAG tentang hal ini dengan orang tua murid lainnya, sayangnya mostly mereka pasif alias pasrah dengan apa yang terjadi. Saya sih paham, buat sebagian orang pasti bahasan ini dirasa sensitif sehingga “Lebih baik diam supaya aman” adalah jalan ninja yang dapat mereka ambil.

Inti pertemuan kami waktu itu adalah tentang kebijakan biaya sekolah selama pandemi berlangsung, mengingat pihak sekolah tidak banyak menanggung beban biaya selama murid di rumahkan. Contoh saja penggunaan fasilitas sekolah (kelas, taman dll), listrik termasuk AC, air, alat peraga dan lain-lain. Tentu saja kecuali upah guru, serta kuota internet yang tidak seberapa, wong sebatas via WA. Disini saya belum membahas hati nurani mereka mengenai kemungkinan adanya orang tua murid yang jobless terimbas dari krisis pandemi, ya.

Apakah logika saya salah menuntut keadilan pada pihak yayasan si empunya sekolah?

Banyak sekolah di luar sana yang memberikan potongan biaya sekolah selama online learning, mereka paham dengan keterbatasannya, namun sayangnya banyak juga ditemukan sekolah yang masih ‘egois’ memungut bayaran full dengan dalih “Upah guru darimana?” padahal jelas-jelas dilihat dari sisi manapun pihak sekolah seharusnya paham akan hal itu. Kecuali jika sekolah sudah bermental licik yang mengutamakan sisi bisnis dengan memanfaatkan pandemi untuk meraup keuntungan sendiri.

Lalu bagaimana hasilnya?

Pengajuan saya ditolak saat itu juga. Bahkan saya diberikan opsi; berlapang dada melanjutkan proses belajar mengajar dengan tetap membayar penuh seperti biasa atau dinyatakan mengundurkan diri sehingga tidak perlu membayar biaya sekolah sama sekali.

TEGA

Iya sesombong itu sekolah anak saya memperlakukan orang tua muridnya. Perlu diketahui bahwa sekolah tersebut berbadan hukum yayasan berlabelkan islam. Sedih rasanya ketika aspirasi nyata diindahkan, terlebih mengingat kualitas belajar dikesampingkan sementara hak terus dipertahankan.

Saya memilih nomer dua dengan mengundurkan diri. Keputusan ini saya ambil saat itu juga dan saya utarakan langsung di depan pihak yayasan. Dalam hati saya bergumam jika suatu hari nanti saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membangun sebuah lembaga pendidikan, cerita ini akan menjadi pelajaran berharga yang tidak akan pernah saya lupakan.

“Pendidikan seharusnya dipegang oleh orang yang tidak semata-mata memikirkan keuntungan.” (mirantizr, 2020)

Photo by Freepik

***

Miranti

jendelakeluargaid@gmail.com

Leave a Reply

error: Content is protected !!