Paranoid Terhadap Vaksin?
Paranoid Terhadap Vaksin?
jendelakeluarga.com – Tanggal 28 Juni lalu Ry kontrol ke Rumah Sakit Limijati Bandung untuk tebus obat perpanjangan sekaligus imunisasi DPT ulangan yang terjadwal di usia 18 bulan. Seharusnya kami bertemu dr. Sri S (SS), Dokter Spesialis Anak (DSA) yang meng-handle Ry beberapa bulan terakhir. Namun kebetulan beliau sudah tidak ditempat jadilah kami switch ke dr. Rodman T (RT), DSA yang juga pernah menangani Ry beberapa kali.
Saat bahas imunisasi, kami sempat diskusi terlebih dahulu mengenai vaksin palsu yang marak diberitakan belakangan ini. Si dokter sempat menunjukkan surat edaran resmi dari rumah sakit bahwa vaksin dari distributor yang bekerjasama dengan RSIA Limijati dinyatakan asli alias aman untuk diberikan kepada pasien. Mendengar penjelasan sekaligus membaca informasi yang diberikan dokter maka kami putuskan untuk memberikan imunisasi DPT Ry hari itu juga.
Singkat cerita proses pemberian imunisasi berjalan lancar. Saat itu vaksin diberikan di bagian paha kanan. Setelah keluar ruangan, Ry kembali main di area mini playground yang jaraknya dekat dengan ruang dokter. Tetapi selang 15 menit kemudian tiba-tiba Ry mendadak muntah cukup banyak dan tanpa henti. Panik sudah pasti. Kami langsung lari menuju ruangan dokter sekalian menanyakan kenapa tiba-tiba si anak muntah-muntah padahal sebelumnya baik-baik saja.
… PANIK & KHAWATIR! Terbayang anak saya jadi salah satu korban vaksin palsu. Naudzubillah..
Respon si dokter saat itu hanya “nggak papa bu, ini normal, coba si kecil di gendong jangan lari-larian dulu” Well walaupun saya merasa aneh dan sedikit geram, kok si dokter santai banget sih sedangkan saya sudah kepanikan sambil menyeka muntahan Ry yang berantakan di pundak abinya. Seingat saya dengan rangkaian imunisasi yang dilewati Ry sejak lahir tidak pernah ada yang bermasalah, paling hanya demam normal yang bisa diatasi dengan sanmol. Even kami sering berganti rumah sakit baik di Bandung maupun Tangerang (tempat Ry lahir) semuanya baik-baik saja.
Berkali-kali saya tanya ke dokter “Dok, bener ya ini gapapa? Bukan efek samping kan?” Dan beberapa pertanyaan panik yang spontan saya tanyakan. Dokter hanya menjawab “Iya bu gapapa, ini normal, mungkin tadi dari pencernaannya aja bukan dari vaksin”. Akhirnya mendengar penjelasan tersebut kami sedikit lega dan segera pulang setelah menyelesaikan urusan pembayaran.
Kami sampai rumah sekitar jam 9 malam karena jadwal dokter yang kami tuju hanya ada sore menjelang malam. Semua baik-baik saja, Ry tidak merasakan apa-apa dan cepat tertidur pulas setibanya di rumah.
~~~~~
Keesokan harinya barulah mimpi buruk itu dimulai. Tidak seperti pada pagi hari lainnya, Ry bangun dengan menangis sejadi-jadinya. Saya pikir hanya haus karena biasanya dia menangis bangun pagi jika haus yang tak tertahankan, selebihnya dia akan bangun dengan ceria. Sehingga saat itu saya hanya memberikanya air putih dan berharap dia bangun dengan happy atau boleh kembali tidur beberapa saat lagi. Waktu saya kembali melanjutkan urusan perdapuran, Ry kembali menangis lagi. Kali ini dia bilang “Mi.. Cakittt..” sambil nunjuk paha bagian kanan. Saat itu saya spontan masih terbayang cerita semalam yang mengkhawatirkan. “Mana yang sakit, nak?” ~ “Inih” sambil menunjuk ulang paha kanannya yang bekas suntikan semalam 🙁
Sambil coba memastikan bahwa sakitnya itu benar di bagian paha, saya terus menyemangatinya agar dia bisa bangun sendiri. Ry itu bukan anak cengeng dan manja. Saya tahu benar itu. Dia tidak akan menangis jika tidak merasakan sakit yang sangat. Yang saya salut dengan kondisi begitu dia tetap paksakan untuk bisa berdiri sendiri walau sambil menangis kesakitan 🙁 Dia mencoba berjalan tapi tak kuasa. Bangkit dari duduknya saja sudah membuatnya teriak setengah mati. Terbayang bagaimana sakit yang dirasakannya saat itu. Ya Allah rasanya saya menyesal membawanya imunisasi.
Saya coba bertanya kesana kemari mengenai kejadian yang dialami oleh Ry. Dari mulai teman dekat, teman bareng di komunitas atau bahkan hanya kenalan lewat media sosial. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal tersebut jarang sekali terjadi, paling hanya ngilu sedikit bukan yang fatal sampai tidak bisa jalan 🙁 Saya mengikuti beberapa saran yang mayoritas mengatakan untuk dikompres air hangat pada bagian bekas suntikan. Begitu juga yang disarankan oleh dr. RT saat saya mengadu kejadian ini via WhatsApp. Beliau juga menyarankan untuk memberikan sanmol drop dengan dosis 3×0,8 ml even si anak tidak panas tinggi. Saya mematuhinya mungkin sebagai pereda sakit di kakinya, begitu pikir saya.
Kejadian ini berlangsung hingga malam menjelang. Dari yang awalnya tidak bisa berdiri sama sekali berangsur berhasil berdiri sendiri dari duduknya. Kemudian mulai bisa berjalan dengan kaki terseret berangsur berjalan dengan kaki melayang. Barulah malam hari si anak riang ini bisa berjalan (agak) normal karena sesekali dia masih juga mengeluh kesakitan di kakinya. Hingga benar-benar kembali normal pada keesokan harinya.
Pemandangan ini sesungguhnya lebih miris dari ilustrasi yang saya ceritakan 🙁 Saya tidak menyalahkan rumah sakitnya, dokternya atau bahkan vaksinnya. Yang saya permasalahkan, pada bagian mana yang ada salahnya? Mencoba berpikir positif, berikhtiar yang terbaik dan berdoa kepada yang Maha Berkehendak adalah intisari dari kejadian ini.
Cukup sekali merasakannya, benar-benar pengalaman yang membuat saya trauma 🙁 🙁 🙁 So please, buat semua orangtua jika memiliki cerita yang serupa atau ada versi lainnya bisa tolong share disini atau via email. Saya pun sangat menunggu penjelasan dari seseorang yang paham betul-betul mengenai imunisasi. Karena hal ini sangat-sangat berpengaruh pada pandangan saya untuk pemberian imunisasi berikutnya dan anak-anak saya selanjutnya ❤
:: 28 Juni 2016 ::