Penerapan Disiplin pada Anak

🗄Resume Materi Kuliah WhatsApp
Grup Rumah Main Anak🗄

Rabu, 6 April 2016

Penerapan Disiplin pada Anak
Oleh Chairunnisa Rizkiah, S.Psi

Peresume: Fenny Agria Meidian

🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀

Assalamu’alaikum ibu-ibu hebat :mrgreen: Materi kali ini lebih panjang daripada biasanya karena ada hal – hal yang saya pikir perlu dijelaskan cukup detail, mumpung ada kesempatan untuk bahas materi ini. Monggo, dibaca dengan seksama ya 🙂

❣Disiplin❣
Disiplin (kata benda) didefinisikan sebagai metode untuk membentuk (mold) karakter seseorang dan mengajarkan kontrol diri serta perilaku yang pantas, layak, dan dapat diterima di lingkungan sosial (acceptable behaviors) (Papalia, Olds, & Feldman, 2010). Jadi, misalnya anak bisa mandi segera bila disuruh mandi, berhenti bermain segera bila disuruh berhenti, dan bisa menahan diri untuk tidak berlari-lari di supermarket yang luas, kita bisa mengatakan anak itu memiliki kedisiplinan yang tinggi. Tujuan penerapan disiplin adalah untuk mengajarkan anak self-discipline, yaitu kemampuan untuk mendisiplinkan diri di kemudian hari walaupun tidak ada yang mengingatkan atau menegurnya. Contohnya, anak yang sudah terbiasa disiplin sholat akan tetap sholat walaupun orangtuanya sedang tidak ada, atau anak yang sudah terbiasa berbicara tanpa mengumpat atau berteriak akan tetap berbicara dengan baik walaupun tidak ada orangtua yang mengawasinya.

Bentuk disiplin seperti apa yang terbaik? Sejauh ini belum ada yang bisa diklaim sebagai “metode terbaik”; lebih dari metode disiplin dapat diterapkan sesuai kebutuhan karena dalam pengasuhan tidak ada “satu ukuran untuk semua”. Sampai sekarang ada lebih dari satu cara yang dapat diterapkan sesuai dengan konteks dan bentuk perilaku anak, usia anak, karakter anak, budaya, dan faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan. 

Ada tiga kategori utama dalam disiplin (Grusec & Goodnow, 1994, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2010), yaitu:
1. Power assertion (penggunaan kekuasaan). Perilaku dihentikan dengan kontrol dan power yang dimiliki orang dewasa, secara fisik maupun verbal. Tindakan yang termasuk power assertion antara lain mengancam, menuntut (terlalu “harus ini harus itu”), memukul, mengambil benda/hal yang menjadi kesenangan anak, dan lain sebagainya
2. Teknik induktif, yaitu teknik yang dirancang untuk mendorong terbentuknya perilaku positif atau mengurangi perilaku negatif, dengan cara menggunakan daya nalar (reasoning) anak. Teknik ini mencakup penetapan batas yang jelas untuk perilaku mana yang bisa dan tidak bisa diterima (misal: memukul adik/kakak itu sudah di luar batas toleransi orangtua), menunjukkan konsekuensi logis yang akan didapatkan bila anak melakukan sesuatu (misal: kalau tidak mau beres-beres, mainannya untuk sementara tidak boleh dimainkan karena anak tidak mau mengurusi mainan miliknya sendiri), memberikan penjelasan, berdiskusi, dan mendengarkan pendapat anak tentang perilaku dan konsekuensi yang diterimanya
3. Withdrawal of love (menarik diri dari menunjukkan kasih sayang). Hal ini dapat berupa mengabaikan anak, memisahkan anak di suatu tempat sendirian, atau menunjukkan ketidaksukaan kepada anak. 

Teknik induktif banyak dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam berbagai situasi, sebaliknya power assertion paling tidak efektif. Akan tetapi, tentunya bentuk disiplin yang diterapkan tergantung juga pada bentuk perilaku anak dan konteks (situasi) terjadinya perilaku tersebut. Bila anak bermain terlalu kasar sampai menyakiti anak lain, penggunaan power dengan cara menghentikan anak bermain lalu dibawa menjauh dari temannya tidak salah, sebab anak perlu tahu dengan segera bahwa perilakunya salah. Setelah itu teknik induktif berupa mengajak anak berbicara juga dapat dilakukan untuk menjelaskan kepada anak bahwa kalau anak suka memukul, nanti teman-teman tidak mau lagi bermain bersama anak karena dipukul itu sakit. Bila anak kemudian menunjukkan kekesalannya dengan malah memukul orangtua, ekspresi wajah tidak suka dan berkata “Bunda tidak suka kalau kamu pukul-pukul” adalah bentuk withdrawal of love.

❣Konsekuensi, reinforcement, dan punishment

Reinforcement dan punishment merupakan istilah yang “payung besar”nya sebenarnya adalah “konsekuensi”. Setiap tingkah laku memunculkan konsekuensi atau ganjaran. Kemudian adanya konsekuensi tersebut juga mempengaruhi kemunculan tingkah laku yang sama di masa yang akan datang. Perilaku yang diikuti dengan reinforcer (penguat/hadiah) akan menguat, dan operant behavior yang diikuti dengan punishers (hukuman) akan melemah. Misalnya, bila anak membantu ibu membereskan rumah lalu dipuji (diberi reinforcer), kemungkinan anak mengulangi perilakunya lagi akan meningkat. Sebaliknya, bila anak sengaja menjahili kucing di rumah lalu ibu berkata “tidak boleh” dan anak tidak diperbolehkan main di luar lagi sore itu (diberi punisher), kemungkinan anak mengulangi perilakunya lagi akan menurun.

Idealnya, perilaku yang ingin diberi reinforcer adalah perilaku positif, tetapi kadang secara tidak sadar orang dewasa me-reinforce perilaku negatif anak juga. Misalnya, anak tiba-tiba minta dibelikan es padahal ia sedang sakit, lalu menangis meraung-raung ketika orangtua berkata tidak boleh. Orangtua akhirnya membelikan supaya anak berhenti menangis. Besok-besok, anak lebih mungkin akan mengulangi perilaku menangis lagi bila menginginkan sesuatu, karena saat menangis ia diberi reinforcer (keinginannya dituruti). Atau, anak punya kebiasaan minta ibu mencarikan semua barangnya tanpa berusaha mencari sendiri. Bila setiap kali anak bertanya di mana barang yang diinginkannya, ibu langsung mencarikannya dan anak tidak berusaha apapun, anak mendapatkan reinforcer berupa ibu mencarikan barangnya setiap kali ia meminta dicarikan. Hati-hati ya Bun ☺ Ingat lagi bahwa tujuan pengasuhan adalah untuk membentuk karakter anak yang mandiri dan dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan, bukan hanya supaya anak tidak pernah menangis dan selalu “senang”.

💖Reinforcement
Reinforcement merupakan bentuk pemberian konsekuensi terhadap kemunculan suatu tingkah laku dengan tujuan agar tingkah laku tersebut akan muncul kembali. Reinforcement dapat dilakukan dengan cara memberikan sesuatu yang menyenangkan (positive reinforcement), atau menghilangkan sesuatu yang tidak menyenangkan (negative reinforcement). 

1⃣Negative reinforcement
Negative reinforcement merupakan keadaan dimana stimulus yang tidak menyenangkan (aversive stimulus, stimulus yang dianggap mengancam) ditarik/dihilangkan dengan segera setelah kejadian suatu tingkah laku, yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku tersebut. Misalnya, seorang anak yang diomeli oleh orang tuanya supaya mengerjakan PR, ketika anak tersebut menuruti perintah maka orang tua berhenti mengomel. Dihilangkannya perilaku mengomel, ternyata meningkatkan/ memperkuat perilaku menuruti perintah. Akan tetapi, negative reinforcement tidak banyak dipakai dengan alasan:
1. Negative reinforcement membutuhkan ongoing aversive event (dimarahi, suara berisik, rasa sakit) yang dapat dihentikan ketika perilaku yang diinginkan akhirnya dilakukan. Hal ini dianggap tidak etis; masih terdapat lebih banyak pilihan dalam positive reinforcement
2. Penggunaan negative reinforcement, dapat memberikan efek samping yang tidak diinginkan, misalnya emosi negatif pada anak karena terus-menerus mendengarkan omelan atau harus melakukan hal yang tidak disukainya secara paksa

Adapun contoh pemberian negative reinforcement yang tepat guna, misalkan anak sudah memiliki tugas tertentu yang harus dilakukannya di rumah, misalnya mencuci piring setelah makan malam. Bila anak berhasil mendapatkan nilai ulangan minimal 80, anak dibebaskan dari tugas mencuci piring selama sepekan. Jadi hal yang tidak menyenangkan (mencuci piring) ditarik dari anak, sehingga anak merasa kondisinya lebih menyenangkan. Tentunya akan lebih baik bila negative reinforcement seperti ini disertai juga dengan positive reinforcement, seperti pujian dan dibuatkan makanan kesukaannya.

2⃣ Positive Reinforcement
Prinsip positive reinforcement adalah jika dalam suatu kondisi seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu, lalu tingkah laku tersebut langsung diikuti dengan pemberian positive reinforcer, maka orang itu akan lebih mungkin memunculkan tingkah laku yang sama bila menghadapi situasi serupa. Positive reinforcer memiliki makna yang kurang lebih serupa dengan kata reward (hadiah). Saya sendiri lebih sering menggunakan kata “reinforcement” sebagai acuan untuk memperkuat suatu tingkah laku. Contohnya, anak dipuji dan diberi kue setelah membantu ayah membersihkan halaman. Bila ayah meminta bantuan anak itu lagi di kesempatan lain, ada kemungkinan lebih besar bahwa anak akan bersedia membantu lagi. Positive reinforcement terkadang disebut dengan reinforcement saja, sebab positive reinforcement lebih banyak digunakan dalam intervensi tingkah laku dalam kehidupan nyata.
Menurut Martin dan Pear (2013), ada lima jenis positive reinforcer, yaitu:
1. Consumables (pangan) meliputi aneka makanan dan minuman, seperti permen, kue, es krim, susu, dan lain-lain.
2. Activitiy reinforcer berupa aktivitas, artinya seseorang mendapatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan baginya, seperti menonton televisi, membaca buku yang disukai, atau melakukan hobinya.
3. Manipulative reinforcer berupa kesempatan untuk melakukan atau membuat hal-hal baru, seperti melukis, menjelajah internet, atau membuat prakarya. Bentuk reinforcer ini dapat beririsan dengan jenis activity reinforcer. Kata “manipulative” di sini artinya berbeda dengan sifat manipulatif yang negatif. Manipulative reinforcer adalah pemberian suatu benda atau kegiatan yang membuat anak dapat memanipulasi (membuat suatu kreasi atau mengeksplorasi) benda-benda tersebut.
4. Possession reinforcer berupa kesempatan untuk memiliki benda atau tempat tertentu, secara permanen maupun bersifar sementara. Misalnya, anak bisa memiliki kamar tidur sendiri, bisa duduk di kursi yang diinginkan, atau dipinjami mainan tertentu selama sehari
5. Social reinforcer berbentuk pujian, pelukan, senyuman, dan berbagai bentuk perhatian dari orang lain. Kazdin (2013) menyebutkan bahwa social reinforcer merupakan conditioned reinforcer (reinforcer yang dibiasakan sehingga dianggap sebagai reinforcement) karena nilai dari reinforcer tersebut dipelajari oleh orang yang menerimanya. Misalnya, anggukan dari orangtua atau guru berarti persetujuan atau dukungan terhadap tingkah laku yang ditunjukkan oleh anak, atau pelukan, senyuman, serta kontak mata berarti anak sedang diperhatikan atau disayangi karena tingkah lakunya.

🏧Token Economy
Salah satu bentuk reinforcer lainnya yang sering digunakan adalah token. Sistem reinforcement berbasis token disebut token economy. Token dapat berbentuk koin (bukan koin uang), tiket, stiker, tanda bintang atau smiley, poin, dan lain-lainnya yang menunjukkan berapa kali seseorang menunjukkan perilaku yang diharapkan tersebut. Token berupa poin, misalnya poin yang diperoleh setiap kali seseorang mengisi pulsa, yang dapat ditukar setelah terkumpul jumlah tertentu. Seorang guru saya dulu memberi saya dan teman-teman sekelas masing-masing satu buku kecil untuk mencatat poin untuk perilaku baik yang dilakukan. Misalnya, 50 poin bila mendapat nilai yang bagus, 20 poin bila bisa membaca dengan tenang di waktu “silent reading” (ada teman lain yang sibuk mengobrol). Poinnya bisa ditukar dengan macam-macam alat tulis. Kazdin (2013) menyebut token sebagai generalized conditioned reinforcer sebab token dapat ditukar dengan bermacam-macam hal yang dapat menguatkan tingkah laku. Benda atau aktivitas menyenangkan yang dapat ditukar dengan token disebut juga backup reinforcer.
Persyaratan dasar pada token economy meliputi
(1) Tingkah laku target (target behavior), yaitu tingkah laku yang ingin dimunculkan atau dibiasakan kepada anak
(2) Jumlah token yang dapat diperoleh bila menunjukkan tingkah laku target. Misalnya, 1 stiker untuk perilaku menurut ketika diajak makan dan mandi, 2 stiker bila mau membereskan mainan sendiri, 3 stiker bila diajak ke supermarket tidak merengek minta dibelikan sesuatu tiba-tiba. Jumlah ini dapat dibuat berjenjang agar anak terus termotivasi untuk menunjukkan perilaku baik.
(3) Backup reinforcer yang tersedia. Benda atau kegiatan apa yang dapat ditukar dengan token? Tergantung kesukaan anak dan dana yang tersedia. Terkadang bentuknya tidak harus berupa barang yang perlu dibeli. Anak bisa mendapatkan reinforcer nonbenda seperti waktu bermain yang lebih lama, menginap di rumah nenek, atau berjalan-jalan sore dengan ayah.
(4) jumlah token yang dibutuhkan untuk memperoleh back up reinforcer. Jumlahnya perlu dapat dijangkau anak. Kalau misalnya anak harus dapat 100 stiker dulu baru bisa dapat 1 coklat yang kecil, anak sudah terlanjur tidak bersemangat karena sebelumnya tidak mendapatkan reward apapun dan rewardnya ternyata tidak sepadan dengan 100 stiker. Contohnya, setiap kali anak membereskan barang-barangnya sendiri, ia mendapatkan 5 poin. Di akhir pekan, jumlah poinnya dapat ditukar dengan backup reinforcer yang tersedia sesuai jumlah poin yang ia miliki, misalnya 40 poin untuk makanan kesukaannya dan 50 poin untuk buku cerita baru. Atau setiap kali anak mendengarkan perintah orangtua untuk makan dan mandi, anak mendapat satu stiker. 10 stiker dapat ditukar dengan waktu bermain 30 menit lebih lama, dst. Bila anak melanggar aturan yang sudah ditetapkan, stiker atau poin juga bisa dicabut.

💔Punishment
💔
Punisher merupakan suatu stimulus (berupa sikap, perkataan, atau tindakan) yang dihadirkan segera setelah perilaku muncul, yang menyebabkan berkurangnya frekuensi terjadinya perilaku. Punishers terkadang merujuk kepada stimulus yang menyakitkan. Prinsip dari punishment adalah dalam suatu situasi, ketika seseorang melakukan sesuatu yang diikuti oleh munculnya punishers, maka orang tersebut cenderung tidak melakukan hal yang sama lagi ketika dia menghadapi situasi yang serupa. Punishment seringkali diterjemahkan menjadi istilah ‘hukuman’ yang umum ada di masyarakat. Namun tidak semua punishment merupakan “hukuman” yang tidak etis atau membahayakan anak. Dalam metode penerapan disiplin, punishment merupakan penerapan konsekuensi langsung yang memiliki efek mengurangi kecenderungan seseorang untuk memunculkan perilaku itu kembali di masa yang akan datang.
Ada beberapa tipe punishers yaitu :
1. Pain-inducing punishers. Merupakan hukuman fisik, stimulus segera mengikuti perilaku dimana stimulus ini mengaktivasi reseptor rasa sakit atau reseptor lain yang menimbulkan perasaan tidak nyaman. Contohnya, memukul pantat, gelitik dalam waktu yang lama, suara yang keras, mandi air dingin, cubitan dan lain-lain.

2. Reprimand. Merupakan stimulus verbal negatif yang muncul segera setelah perilaku dilakukan. Stimulus verbal tersebut dapat berupa perkataan tidak suka, tidak setuju, tidak boleh, dan lain-lain yang menunjukkan penolakan terhadap perilaku anak. Misalnya, orang tua mengatakan, ‘Tidak, itu tidak baik’ sesaat setelah anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan. Reprimand juga mencakup tatapan tajam dan genggaman yang kuat yang bertujuan untuk membuat anak menyadari bahwa perilakunya tidak dapat diterima. Efektivitasnya meningkat ketika dipasangkan dengan punisher lain.

3. Response-Cost. Response-cost berupa dihilangkannya sejumlah reinforcer setelah anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan (Reynold&Kelly, dalam Martin&Pear, 2013). Contoh response-cost dalam kehidupan sehari-hari adalah denda dan tiket tilang. Dalam hal ini, hal yang menyenangkan (misalnya uang dan makanan) diambil bila seseorang melakukan hal yang tidak diinginkan. Response-cost digunakan dalam program modifikasi perilaku yang menggunakan token sebagai reinforcers.

4. Time-out. Time-out merupakan periode waktu tertentu dimana seseorang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan reinforcer pada periode waktu ini, sebagai konsekuensi dari perilaku tertentu. Misalnya, membawa anak ke ruangan lain atau mengajak anak masuk ruangan ketika anak-anak lain masih punya waktu bermain di luar. Lamanya pemberian time-out sangat perlu disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan anak. Misalnya, anak-anak yang masih sangat kecil 2-3 tahun maksimal 5 menit saja, itu sudah terasa lama bagi mereka.

Sebagai ilustrasi untuk penerapan time-out, ini pengalaman menerapkan time-out di konteks kelas. Bila ada murid saya yang mengganggu temannya (mencolek, mengajak mengobrol padahal temannya sudah bilang ingin memperhatikan guru, mengangkat-angkat kaki, dll) saat guru sedang menjelaskan pelajaran, akan diberi waktu 10 menit untuk duduk sendirian di kursi di bagian belakang, yang terpisah dari teman-temannya yang duduk di karpet. Tidak ada temannya yang akan mengajaknya bicara dan guru akan mengabaikan anak itu walaupun ia mengomel dan memelas untuk bisa bergabung kembali (tips: stok “tega” dan sabarnya perlu banyak ya Bun). Hal yang penting untuk diperhatikan adalah, sebelum anak diberi time-out, anak perlu diberi tahu terlebih dahulu bahwa nanti ada konsekuensinya bila anak melakukan hal yang tidak dapat diterima. Jadi anak tidak tiba-tiba disuruh duduk di pojokan tanpa mengerti apa kesalahannya. Sebelum menyuruh murid itu duduk sendirian, saya sudah memberi tahu di awal pelajaran bahwa murid yang mengganggu temannya saat kami sedang belajar akan diingatkan 2 kali, bila masih diulangi maka terpaksa ia duduk di kursi yang terpisah dari teman-temannya. Ketika sudah 2 kali diingatkan anak masih menganggu temannya, saya berkata, “Maaf, kamu duduk di kursi merah itu dulu. Sudah diingatkan 2 kali ya tadi, tapi kamu masih menganggu teman.” Lalu saya akan tempelkan stiker di jam dinding kelas untuk menandai kapan anak bisa bergabung lagi dengan teman-temannya (“Kalau tangan jam yang panjang ini sampai di angka 8, kamu boleh duduk di karpet lagi”). Saat ia akan kembali bergabung dengan teman-temannya pun saya berbicara sebentar dengan anak itu untuk memastikan ia mengerti kenapa ia harus duduk terpisah tadi. Saya juga mengucapkan terima kasih bila anak mau duduk di sana sesuai instruksi sampai waktu time-out selesai.
Ini contoh time-out di acara parenting favorit saya. Anaknya umur 3 tahunan, time-out dilakukan 5 menit. Mereka memang sudah punya kesepakatan, kalau bertengkar dengan saudaranya akan ada time-out dengan duduk di kursi. Mudah-mudahan lebih tergambar ya penerapan time-out yang saya maksud.
https://www.youtube.com/watch?v=g8ksSox8X5E

:idea:Apapun metode yang diterapkan, penerapan disiplin perlu tetap memperhatikan kesejahteraan psikologis anak. “Disiplin” dapat melewati batas dan berubah menjadi kekerasan terhadap anak atau menyerang keamanan psikologis anak bila bentuk pendisiplinan tersebut membahayakan anak secara fisik dan emosional. Misalnya, berkata “tidak boleh” lalu mengurangi waktu bermain anak adalah bentuk punishment yang masih dapat diterima. Tetapi “tidak boleh” lalu mengurung anak di kamar yang lampunya dimatikan, atau menampar anak sampai lebam, padahal kesalahan anak “hanya” menumpahkan makanan, itu sudah merupakan abuse (kekerasan) terhadap anak. Demikian pula kata-kata ancaman seperti “awas ya, nanti ga boleh masuk rumah kalau masih nangis!” atau “Awas ya, nanti mama tinggal di kantor polisi aja!”, kata-kata yang merendahkan anak (“Ah payah, gini aja gak bisa!”, “Ih jelek banget”, “Eh, pendek!”), atau dengan sengaja menunjukkan bahasa isyarat seperti mengancam akan memukul. Kita perlu “tega” untuk mengajari anak mana perilaku yang diharapkan dan mana perilaku yang tidak dinginkan, tetapi jangan lupa juga untuk melakukannya tanpa ekspresi kemarahan dan punishment berlebihan yang justru membuat anak takut. Tidak lupa, banyak-banyak berdoa semoga kita dan anak sama-sama diberi kelembutan hati. Semua metode disiplin yang saya paparkan di sini hanya alat. Kesuksesannya tergantung juga pada pihak yang menjalankan, dan tentunya kedekatan emosional orangtua dan anak 🙂

Referensi:
Kadzin, A.E. (2013). Behavior modification in applied setting. Long Grove, Illinois: Waveland Press, Inc.
Martin, G. & Pear, J. (2013). Behavior modification: What it is and how to do it. New Jersey: Pearson, Prentice Hall.
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2010). Human Development. 11th Ed. New York: McGraw-Hill

🦁🐯🦁🐯🦁🐯🦁🐯🦁🐯

🏅Tanya-Jawab🏅

1⃣Selamat sore miss kiki, mau nanya..
Bagaimana dg anak2 yg di masa golden age (5 tahun) pertama tidak di ajarkan dan di latih kedisiplinan? Sampai usia di atas 5 tahun anaknya cuek, asal2an dan ga ada kesadaran meski untuk menjaga barang2 pribadi atau kamar sendiri,dan kemandirian anak jd kurang,ketika mulai di coba buat peraturan tapi kesannya malas2an dan menyepelekan,karena tetap di ulang2 terus kesalahan yg sama..

(Widi,RMA1,Depok)

Jawab:
Bunda Widi, jangankan anak yg “kecolongan” pengasuhannya usia 5 tahun pertama, anak yg sudah lebih besar pun tetap bisa diajari untuk lebih disiplin 🙂 Bahkan kita yg sudah dewasa juga masih bisa kan belajar kebiasaan baru yg lebih baik. Yang dulu sering teriak ke anak atau gampang main cubit, masih bisa belajar menghilangkan perilaku itu.
Kalau sudah ada aturan tapi perilaku anak tidak berubah dan kesannya menyepelekan, yang perlu ditinjau lagi adalah penerapannya. Misalnya, anak punya kebiasaan tidak membereskan kamarnya sendiri dan cuek saja ketika disuruh merapikan kamar, konsekuensi apa yang diberikan kepada anak kalau ia mau membereskan kamar? Berarti, hal apa yg bisa memotivaai anak utk membereskan kamarnya? Hal yang akan diberikan sebagai hadiah haruslah yg menarik bagi anak. Coba kalau bunda bilang “kalau kamu mau bereskan kamar nanti bunda belikan pensil warna”, padahal dia tidak suka mewarnai. Kan jadinya tidak tepat sasaran. Anak bisa juga ditanya, apa yg dia mau kalau kamarnya dibereskan. Tentunya hal atau benda yg bisa disediakan oleh orangtua. Dan bukan hadiah yg langsung besar sekaligus, misalnya sekali membereskan kamar langsung bisa jalan2 ke Dufan. Kan tidak sepadan dengan usaha anak. Bunda bisa lihat lagi penjelasan tentang token economy. Utk membentuk kebiasaan baru, anak bisa dberi token yang dapat ditukar. Tentunya token ini tidak permanen, bila kebiasaan anak sudah konsisten dijalankan, pelan2 tokennya bisa dihilangkan atau dikurangi.
Kalau konsekuensi negatifnya, coba misalnya kamarnya berantakan, kalau anak kehilangan barang di kamar, atau barang2 miliknya berceceran di mana2 lalu hilang, tidak usah dibantu cari. Ini sudah saya contohkan di materi tadi, kalau ada kebiasaan baik yg tanpa sadar di-reinforce oleh orang lain sehingga anak merasa baik2 saja dgn kebiasaannya itu.
Sebenarny pertanyaan bunda widi masih kurang jelas. Aturan seperti apa yg diterapkan dan bagaimana sikap anak terhadap aturan itu? Dan jangan lupa, perilaku anak tidak langsung berubah drastis dalam 1 hari kalau sudah telanjur kebiasaan. Makanya, diperlukan penerapan aturan yg konsisten. Semoga jawabannya membantu ya

2⃣Anak saya 4.5 thn, perilaku yg ingin sy hilangkan adalah sering sengaja menjahili adiknya (2 thn) misal menabrak adiknya dgn sepeda, memukul, dll. Padahal sy tahu hub kakak-adik baik, kalau lg rukun ya mau main bareng dan perhatian sekali dgn adiknya. Sy tahu ia mencari perhatian/rewel/ngantuk, biasanya kalau sy tanya : kenapa pukul/ganggu adik? Kakak ingin apa? Kakak biasanya menjawab hal tsb. Selama ini saya mengatakan konsisten : tidak boleh pukul,itu sakit/kakak suka dipukul ga? Kalau kakak tdk suka jgn lakukan ke org lain. Pernah salah menerapkan time out, tdk memberi penjelasan sebelumnya, pantas sy tdk berhasil. Nah kasus anak sy bs kan ya dgn time out? Sy ingin mencoba time out yg benar, ada kiat2 dr mbak Kiki untuk memberi penjelasan time out ke anak? Terima kasih.

(Nunik-RMA 2 , Naufal-Nafis 4.5-2 thn)

Jawab:
Bunda nunik yg baik,
Berikut hal2 yg perlu diperhatikan bila ingin menggunakan metode time-out:
1. untuk time-out, seperti yg saya jelaskan di materi, penjelasan di awal memang sangat penting. Jadi anak juga tidak kaget, dan walaupun nanti dia cemberut atau protes tapi anak memang tahu kalau sudah ada kesepakatan itu. Jadi, membuat kesepakatan di awal adlh kunci yg penting
2. Hal lain yg bisa dicoba, kesepakatannya dibuat dalam bentuk poster yang ditempel di tempat yg sering jadi tempat bermain anak. Jadi anak ingat bahwa ada aturan juga dalam bermain.
3. Waktu time-out, sesuaikan dengan usia anak. Utk anak 4 tahunan, 10-15 menit itu sudah cukup lama. Kalau perlu tunjukkan ke anak, 10 menit itu dari jarum jam yang mana sampai yg mana
4. Lokasi time-out. Time out bisa dilakukan di ruangan yg sama atau di ruang terpisah. Kalau di ruangan yg sama, pastikan orangtua konsisten tidak meladeni anak selama timeout. Biasanya di awal2 mereka merengek dan menangis agar diperhatikan. Kalau anak diberi time-out di ruangan lain, misalnya anak diminta masuk ke kamar (tapi kamarnya tidak perlu ditutup, yang penting anak tidak keluar), pastikan sebelum meninggalkan anak orangtua bilang akan kembali kalau sudah 10 menit. Anak juga di kamar tidak bermain yg lain, karena jadinya tujuan time-out untuk menarik hal yg menyenangkan dari anak tidak tercapai. Untuk orangtua yg baru mencoba time-out, saya lebih menyarankan time-out di ruangan yg sama dulu dgn orangtua agar anak bisa terus diawasi
5. Dialog setelah time-out selesai. Ini sangat penting agar anak mengerti apa kesalahannya, dan ada penyelesaiannya. Ingatkan juga utk main yg baik, minta maaf kepada adik dan peluk adik. Orangtua juga setelah time-out selesai perlu tunjukkan bahwa anak tetap disayang, misalnya dipeluk dan dielus kepalanya sambil berpesan supaya main yg baik, anak baik, anak sholeh, dll. Semoga jawabannya membantu ya Bun. Kalau berhasil, boleh lah sharing ke yang lain 🙂

3⃣Asslmkm mba kiki..mau tanya..
Bgmn menerapkan disiplin pada anak yg jika ditegur (dg nada pelan) dan orang tua menunjukkan ekspresi tidak suka malah anak sedih, menangis sesenggukkan seperti habis dimarahi dg nada tinggi. Terimakasih

(Minda_Bandarlampung_17bln_RMA2)

Jawab: Wa’alaikumussalam bunda minda 🙂 Untuk anak yg masih sangat kecil (ananda sendiri umurnya baru 1,5 tahun), ditegur dan dilarang kadang memang membuat anak kaget. Kan biasanya disayang-sayang, kok sekarang dilarang? Begitu kira-kira. Anak yg masih sangat kecil juga secara psikologis masih ada di tahapan awal untuk belajar mengontrol diri, khususnya belajar bahwa ada hal yg tidak boleh dilakukan krn berbahaya. Jadi kalau dilarang, mereka jadi upset (sedih, kecewa). Tapi, semakin kecil anak diajarkan bahwa ada hal2 yg memang tidak bisa dia dapat (dgn alasan yg kuat), kita meminimalisasi kemungkinan anak akan tantrum lebih parah di kemudian hari bila keinginannya tidak dituruti. Anak pelan-pelan juga akan terus belajar kok bunda, bahwa tidak diizinkan melakukan sesuatu yg ia mau atau mengambil sesuatu yg dia suka bukan berarti orangtuanya tidak sayang
Nah, anak kecil, umumnya gampang upset tapi gampang juga lupa 😁 Kalau sudah ditegur dgn halus, baiknya anak langsung dialihkan perhatiannya. Diajak jalan ke tempat lain atau melakukan aktivitas lain yg menjauhkan dari benda atau kegiatan yg dilarang itu. Masih sesegukan? Wajar. Kalau nanti ada hal lain yg menarik, sesegukannya hilang. Ada juga anak2 yg kalau diajak bercanda cepat berhenti sesegukannya. Dikelitiki atau diayun2kan, kegiatan bermain fisik yg biasanya bisa membuat anak tertawa
Tidak lupa, anak dipeluk, dielus2, dan ditimang agar lebih tenang. Awalnya mungkin anak berontak, tapi sentuhan fisik orangtua itu punya efek menenangkan utk anak kecil. Kalau bunda merasa perlu minta maaf krn terpaksa anak dilarang, misalnya anak mau pegang colokan listrik tapi tentunya dilarang krn bahaya, tidak apa2 juga utk minta maaf. “Maaf ya, bunda ga bolehin. Sedih ya ga dibolehin? Tapi kalau dipegang nanti bisa kesetrum, sakiiiit.” Semoga jawabannya membantu ya 🙂

4⃣Mulai usia berapasebaiknya anak di ajarkan utk disiplin seperti :
Tidur di kamar sendiri
Buang air sendiri
Pakai baju sendiri
Mandi sendiri
Hal2 diatas seringkali dikeluhkan ibu2, termasuk sy sendiri. “Kapan waktu yg tepat untuk mulai menanamkannya”

(Indah Katinanda/RMA 4/DEPOK)

Jawab :
Salam, bunda indah. Contoh-contoh yg disebutkan di atas lebih ke arah kemandirian, Bun 🙂 Kalau dikaitkan dengan disiplin, lebih ke arah perilaku seperti ini:
– Mentaati jadwal mandi dan makan bila sudah disuruh berhenti main untuk makan atau mandi
– mau bertanggung jawab menjaga barang milik sendiri, misalnya membereskan mainan dan menjaga kerapian lemari pakaiannya (ambil baju tidak asal tarik)
– punya jam tidur yang teratur, menuruti aturan dari orangtua tentang jam tidur. misalnya: tidur tidak boleh terlalu malam, no gadget 1 jam sebelum tidur

Terkait mengajarkan anak untuk bisa melakukan kegiatan bantu diri (self help) dan rawat diri (self care) seperti mandi, makan, dan pakai baju,  tidak lepas dari kesiapan anak secara fisik, kognitif, dan psikososial. Kalau keterampilan motorik halus anak masih belum memadai, misalnya, anak usia 2 tahunan belum bisa melepas baju kaos sendiri melewati atas kepala. Anak usia 3 tahun, masih takut utk tidur di kamar tidur sendirian. DIAJARKAN caranya bisa dimulai sejak dini, bahkan mengajarkan anak menggunakan sendok sudah bisa dimulai sejak usia 1 tahunan. Tapi utk melepas anak melakukannya sendiri, training atau latihannya biasanya dilakukan saat fisik and kemampuan berpikir anak memang sudah siap. Makan, berpakaian, dan mandi sendiri sudah bisa diajarkan intensif sejak usia 3 tahun. Di usia ini anak sudah bisa diajak bicara dua arah dengan lancar dan bisa meniru contoh yg diberikan. Patokan saya yang lainnya, biasanya kalau anak sudah mulai masuk sekolah (prekindie atau TK), anak sudah perlu punya keterampilan bantu diri seperti makan sendiri dan ke toilet sendiri. Di sekolah, anak tidak bisa selalu bergantung pada bantuan guru. Nah, dalam mengajarkan keterampilan bantu diri inilah dibutuhkan strategi2 seperti yg saya jelaskan di materi kali ini, supaya proses belajar anak terjadi dengan konsisten. Mudah2an jawabannya membantu ya 🙂
Untuk review lebih lanjut tentang kemandirian, bisa cek lagi materi perkembangan psikososial dan materi kemandirian ya Bun..

5⃣ Bagaimana proses reward dan punishment dalam keluarga di era modern seperti sekarang ini? saya sedang berusaha keras untuk memilih no reward no punishment. walau pada akhirnya yang time out adalah ibunya. 🙊 dampak apa yang akan terjadi bila keluarga memilih tidak ada reward dan punishment? Terimakasih.

Sejak mengenal filosofi montessori, there is no reward and punishment, saya jdi suka galau penerapan hadiah dan hukuman buat anak karena,  sebagaimana yang ditekankan adalah azas Follow your child. Sementara di materi jelas beragam punishment dikategorikan agar anak bisa disiplin. apakah ada masukan terkait hal ini?

(Yuli/jakarta/2y9m/RMA4)

Jawab :
Saya bukan praktisi Montessori, tapi sejauh yg saya pahami, punishment yang ditolak/dihindari oleh azas Montessori adalah hukuman yg pada akhirnya membuat anak melakukan sesuatu hanya karena takut dihukum, bukan karena ia tahu perbuatannya tidak baik. Misalnya, mengerjakan PR karena takut dipukul. Hukuman ini walaupun bukan di Montessori, seringkali tidak diterima. Demikian juga dengan reward, tidak tepat guna bila pada akhirnya anak hanya mau melakukan hal yg baik hanya karena ada reward, dan kalau reward dihilangkan anak juga berhenti melakukannya. Misalnya setiap kali membereskan mainan diberi uang, lama2 anak jadi terlalu bergantung pada reward uang dan tidak mau beres2 bila tidak diberi uang.

Sistem reinforcement dan punishment diterapkan dgn azas modifikasi perilaku, yaitu metode utk mengubah perilaku dgn “mengutak-atik” konsekuensi yang diberikan kepada seseorang supaya perilaku yg diharapkan muncul atau perilaku yg tidak diinginkan berkurang/hilang. Seperti yg saya sampaikan di materi, semua itu hanyalah alat, tentu sifatnya opsional. Tidak selalu reward berupa benda menjadi teknik paling ampuh, begitu juga tidak selalu time out bisa berhasil. Dan seperti yg saya tulis, metode yg dipakai untuk mendisiplinkan anak tergantung pada usia, karakter, budaya, dan pertimbangan-pertimbangan lain. Dalam hal ini, azas montessori yg diyakini orangtua utk menerapkan disiplin termasuk jadi bahan pertimbangan.
Sepemahaman saya tentang penerapan disiplin dgn metode Montessori, tetap ada konsekuensi yg diberikan kepada anak atas perilakunya, tetapi bentuknya tidak berupa benda/hadiah dan tentunya bukan hukuman fisik. Saya sendiri lebih seeing menggunakan istilah konsekuensi daripada hadiah/hukuman, karena lebih logis utk menjelaskan bahwa setiap perilaku akan mendapat konsekuensi, yg menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Kategori disiplin dalam Montessori menurut saya paling dekat dgn teknik induktif. Anak diajak untuk berdiskusi tentang perilaku yang baik/diharapkan dan yg tidak diterima. Bila anak melanggar kesepakatan yang sudah dibuat, ia kehilangan privilege (hal yg menyenangkan) utk sementara, misalnya berhenti berkegiatan sebentar, dan perlu memikirkan apa yg sebaiknya ia lakukan yg sesuai dgn aturan. Bila anak melakukan sesuatu yang membahayakan pun, orangtua/guru akan langsung menghentikan perilaku anak (power assertion), tapi tentunya tanpa hukuman fisik. Reward berupa pujian pun tetap diberikan, tetapi bukan sekedar “pintar!” atau “hebat!” melainkan menyebutkan pencapaian spesifik apa yg sudah dicapai anak. Misalnya, “terima kasih ya, kamu hari ini sudah beres2 mainan Tanpa harus disuruh”. Jadi, yg dipuji adalah prosesnya. Hal ini sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip social reinforcement, di mana orangtua/guru tetap bisa memberikan pujian yg spesifik terhadap proses belajar yg sudah dicapai anak dan menambahkan sentuhan penyemangat seperti tepukan di bahu atau kepala.

Jadi Bun, dari sekian banyak metode disiplin yang ada, masing2 punya sisi baik. Metode montessori menurut saya sangat baik dan mengajak orangtua utk peka terhadap kebutuhan anak. Terlebih lagi ada banyak kesempatan dialog dengan anak. Demikian pula dengan metode modifikasi perilaku, asalkan reinforcement yg diberikan bersifat sementara dan anak juga pelan2 dipersiapkan untuk bisa meneruskan kebiasaannya tanpa harus terus diberi reinforcement (reward), untuk sejumlah perilaku dapat menjadi efektif dan tetap aman bagi perkembangan anak. Saran saya, untuk konsep2 penting di metode manapun yg bunda pilih, pastikan definisi dan cakupan konsep tersebut cukup jelas. Misalnya, apa yg dikategorikan sebagai stimulus, punishment, atau reward dalam montessori. Hal ini karena istilah yg sama bisa jadi memiliki definisi dan cakupan yang berbeda. Mudah2an jawabannya membantu ya 🙂 (kiki)

Sepemahaman saya, yg saya pelajari sampai saat ini Montessori memang “follow the child”, tp tetap ada reward-punishment untuk hal2 yg berkaitan dgn behaviour.

Reward-punishment di sini memang bukan hal2 materi, seperti: “jika kamu naik kelas akan papa belikan sepeda” atau “kalau kamu tidak makan mama ga ajak” atau juga pemberian & penarikan stiker “bintang”, misalnya. Montessori tdk memberikan reward-punishment seperti ini..

Pemberian reward-punishmentnya lebih ke pujian, motivasi,  larangan dan teguran untuk hal2 “behaviour”. Misal, ada anak yg menganggu/memukul temannya, maka akan ditegur, ga mungkin kan tetap “follow the child” :)🙏🏾 (Sarah)

💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
IG @rumahmainanak
FP FB Rumah Main Anak
Web: www.rumahmainanak.com

***

Disclaimer :
Semua materi yang di share sudah melalui persetujuan Founder atau PIC dari komunitas yang bersangkutan tanpa menghilangkan format asli termasuk header-footer.

www.jendelakeluarga.com

Miranti

jendelakeluargaid@gmail.com

Leave a Reply

error: Content is protected !!